Suara Kehidupan Part II, Luka dan Air Mata Bahagia

Kompasiana   Kamis, 20 Mei 2021

img

Suara kehidupan part ii, luka dan air mata bahagia langkah dalam kehidupan ini akan selalu dipenuhi dengan tawa dan derita, itu adalah pasangan yang indah yang selalu memunculkan banyak cerita. Tersenyum dan tertawa sebagai simbol bahagia, menjadi kenangan indah untuk selalu di ingat, begitu pula sebaliknya, luka dan air mata , merupakan sepasang nikmat untuk selalu mengingat tuhannya. Hari-hari akan selalu memanjatkan doa, dalam rangkaian kalimat cinta, bermunajat pada yang esa, menghiasi jiwa untuk selalu bersyukur pada-nya. Faza jiwanya yang kering kerontang, sebab kemarau asmara terus melanda, sementara fatia yang hatinya selalu tersayat karena di jodohkan oleh orang tuanya, ia laksana siti nurbaya, harus menerima semua apa yang menjadi keinginan keluarganya.

Hari-hari terus berlalu, fatia selalu mencurahkan keluh kesahnya pada faza, sebab cinta mendapatkan pertentangan orang tua, hingga jiwa kedua insan itu seolah merana. Perjodohan itu pun akhirnya dilangsungkan, mengingat bapak fatia jatuh sakit, karena ada komplikasi dalam tubuhnya, dan beliaupun masih memohon pada fatia untuk menerima hilal sebagai calon suaminya. Konten terkait air mata di penghabisan ramadhan menahan air mata banjir air mata puisi: lelaki yang menimang air mata menghargai air untuk kehidupan puisi: dua titik air mata hilal adalah laki-laki yang dipertemukan dengan fatia melalui saudara lelakinya. Pada pertemuan pertama, fatia terus mengikuti apa yang menjadi keinginan orang tua, meski ia harus tersayat hatinya, gundah gulana, dan air mata tak pernah kering mengalir di parit pipinya.

Awal pertemuan itu bukannya rasa suka yang ia dapatkan, justru kebencian yang teramat sangat, hingga ia sering bilang mau muntah ketika melihat wajahnya, namun apalah daya, ia harus bersandiwara di depan keluarga, hanya karena ada persoalan yang mengharuskan berbalas budi pada hilal. Dalam posisi dilema fatia haruslah menjalani perjodohan itu, meski tiada perasaan suka, apalagi cinta, meski denga rasa terpaksa, semuanya harus di jalani, demi kesembuhan penyakit yang di derita oleh sang bapak. Karena cinta pada sang bapak, fatia harus mengubur keinginannya untuk menjadi sepasang merpati putih dengan kekasihnya, tuk bersanding di pelaminan sakral dala seumur hidupnya. Detik menjadi menit, dan menit pun menjadi jam, waktu terus berlalu, hari-hari fatia dan faza masih terus komunikasi secara sembunyi-sembunyi hanya untuk melepaskan kerinduan yang mendera jiwa.


Baca Juga

0  Komentar